
OPINI (Lentera) -Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membongkar data reputasi dua era bekas Presiden RI, Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi)
Meskipun Jokowi berhasil membangun infrastruktur besar-besaran, manfaat langsung terhadap kesejahteraan rakyat tidak sebanding dengan biaya dan utang yang ditanggung negara.
Utang negara meningkat signifikan, namun tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan rakyat yang sepadan, katanya Purbaya.
Pada tahun 2014 utang negara mencapai Rp2.608,78 triliun dan meningkat menjadi sekitar Rp6.625,43 triliun pada tahun 2023, sementara pertumbuhan ekonomi juga mengalami perlambatan dan kesejahteraan rakyat yang tidak meningkat signifikan.
Akhirnya rasio utang terhadap PDB meningkat dari 27,78 persen pada 2014 menjadi sekitar 40% pada 2023, sementara pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,12 persen rata-rata per tahun.
Ini bisa diartikan lemahnya pemerintahan Jokowi mengelola hutang negara. Terutama dalam mengambil kebijakan bahwa utang negara seharusnya digunakan secara efektif dan efisien serangkaian meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Meskipun demikian tidak semua reputasi Jokowi dibawah. Jokowi unggul mengendalikan inflasi dengan rata-rata inflasi 3,5% dibandingkan dengan era SBY yang cenderung fluktuatif. Sempat mencapai dua digit, seperti 17,11 persen pada tahun 2005 dan 11,06 persen pada tahun 2008.
Di era Jokowi, inflasi tahun 2022 menjadi yang tertinggi selama masa pemerintahannya, yaitu 5,51 persen, namun masih relatif terkendali dengan inflasi pada Juli 2024 tercatat sebesar 2,13 persen year-on-year.
Ada beberapa data yang perlu juga diapresiasi, misalnya:
Presiden Jokowi meluncurkan berbagai program seperti Program Keluarga Harapan (PKH) yang menjangkau 10 juta keluarga kurang mampu, Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk 1,4 juta siswa, dan BPJS Kesehatan yang mencakup 90 persen penduduk Indonesia.
Selain itu, pemerintah juga berhasil mengurangi angka stunting dari 37 persen menjadi 14 persen dan menyalurkan Rp 1.400 triliun Dana Desa untuk pembangunan infrastruktur desa.
Bagaimana dengan reputasi lain SBY?
Dalam beberapa aspek ekonomi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki reputasi yang lebih baik daripada Presiden Joko Widodo (Jokowi) .
Berdasarkan data, rata-rata pertumbuhan ekonomi di era SBY mencapai 5,78 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan era Jokowi yang mencapai 4,12 persen. Hal ini menunjukkan bahwa SBY mampu mengelola ekonomi negara dengan baik dan mencapai pertumbuhan yang stabil.
Selain itu, SBY juga berhasil menjaga stabilitas ekonomi saat krisis finansial global 2008, dengan pertumbuhan ekonomi masih di atas 4 persen pada 2009. Sektor manufaktur juga memiliki kontribusi yang lebih besar terhadap PDB di era SBY, yaitu sekitar 21 persen, sedangkan di era Jokowi kontribusi sektor ini menurun drastis.
Kepuasan publik
Jokowi kalah dari SBY dalam hal kepuasan publik pada awal pemerintahan.
Berdasarkan survei, SBY memiliki tingkat kepuasan 80% pada awal kepemimpinannya. Sedikit lebih tinggi dari Jokowi yang mencapai 75% menjelang akhir masa jabatannya.
Meskipun demikian, tingkat kepuasan terhadap Jokowi masih tergolong tinggi, dengan 15,04% responden merasa sangat puas dan 59,92% cukup puas.
Namun, perlu dicatat bahwa tingkat kepuasan Jokowi mengalami penurunan dari 82% pada Juli 2024 menjadi 75% pada September 2024.
Di era Prabowo
Presiden Prabowo Subianto memimpin Sidang Kabinet Paripurna mengevaluasi capaian strategis pemerintahannya selama enam bulan pertama. Inflasi terjaga di bawah 3 persen. Patut diapresiasi merupakan salah satu yang terendah di dunia.
Pemerintah berhasil menjaga stabilitas harga pangan di masa-masa kritis seperti Natal dan Lebaran, dengan stok pangan pokok strategis dalam kondisi cukup.
Cadangan Beras Pemerintah (CBP) mencapai 1,9 juta ton per tanggal 3 Maret 2025, dengan alokasi 150 ribu ton beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) untuk menjaga kestabilan harga.
Selain itu, pemerintah juga berhasil menurunkan angka kecelakaan saat mudik Lebaran 2025 sebesar 30% dibandingkan tahun sebelumnya.
Pengelolaan fiskal yang prudent menjadi fokus pemerintah, dengan penghapusan utang petani kecil dan pengendalian pinjaman berbunga tinggi sebagai bentuk keberpihakan kepada rakyat kecil.
Pemerintah juga berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui reformasi pupuk dan irigasi untuk mencapai swasembada nasional. Proyeksi produksi beras nasional pada periode Januari-April 2025 menunjukkan surplus sebesar 3,59 juta ton, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.
Dalam menjaga stabilitas harga, pemerintah juga memberikan insentif fiskal bagi daerah yang berhasil mengendalikan inflasi.
Pada tahun 2024, sebanyak 50 daerah menerima insentif fiskal untuk pengendalian inflasi, dengan 36 daerah di antaranya merupakan daerah baru yang sebelumnya belum pernah menerima penghargaan kategori pengendalian inflasi.
M.Rohanudin Praktisi Penyiaran|Editor: Arifin BH