
OPINI (Lentera) -Julukannya keren. Koboi (cowboy). Padahal, Purbaya Yudi Sadewa bukanlah penggembala sapi.
Pasti, dia juga tak piawai memainkan laso. Itu tali panjang. Digunakan untuk menjerat sapi atau kuda-kuda liar.
Di negara asalnya, Amerika. Koboi adalah penggembala ternak. Utamanya, sapi. Dalam mitos Amerika, seorang koboi, adalah figur pemberani.
Di masa Wild West, banyak wilayah Amerika yang dalam kondisi liar. Penegakan hukum lemah. Pistol di pinggang koboi selalu siap tembak.
Figur seorang koboi, adalah manusia mandiri dan terampil. Ia cenderung menyukai kebebasan.
Agaknya, karena gayanya mirip-mirip Koboi Amerika, maka Purbaya pun memperoleh julukan koboi. Bicaranya ceplas-ceplos. Sambil senyum. Gerakannya gesit, sat-set. Candaannya segar. Tapi mengena.
Di Indonesia, tahun 1970-an, ada juga yang menyandang predikat koboi. Siapa lagi kalau bukan Benyamin Sueb. Ya, dalam film komedi: "Benyamin Koboi Ngungsi". Dia berperan sebagai Billy Ball.
Jika Koboi Benyamin membuat orang ngakak. Koboi Purbaya membuat orang terkaget-kaget. Gebrakannya luar biasa.
Dalam suasana ekonomi melemah. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) merajalela. Turun-temurun di semua sektor.
Banyak aparat negara tiarap. Mereka cari selamat. Pilih mengikuti arus. Bahkan ada kesempatan, ikut juga korupsi.
Ini tak ubahnya, era Wild West. Bedanya, di Amerika, era itu kejadiannya di tempat jauh pemukiman. Atau ladang penggembalaan.
Sedang di Indonesia terjadi di kantor-kantor. Baik kantor pemerintah maupun swasta. Di gedung-gedung mewah.
Maka kehadiran Purbaya pun dielu-elukan. Banyak yang berkata: "Dewa penyelamat telah datang".
Ibarat Batara Narada, Sang Perdana Menteri Surga yang turun dari kahyangan atas perintah Batara Guru (baca Presiden Prabowo Subianto). Hendak menyeleseikan masalah keuangan negara.
Mengejutkan
Belum sebulan dilantik, ia menggelontorkan duit Rp 200 triliun pada Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Tujuannya, untuk menggerakkan sektor riil. Di mana ekonomi sedang melambat.
Langkahnya banyak memperoleh pujian. Diharapkan, bank tak pelit lagi mengucurkan kredit. Setelah digelontor besar-besaran.
Tapi bukan tak beralasan bank sangat berhati-hati mencairkan kredit. Ekonomi sedang lesu. Daya beli, turun drastis. Jika dipaksakan, potensi kredit macet (NPL) besar.
Si Menkeu, tak ambil pusing. Bank-bank diminta putar otak. Gebrakan seperti itu tak pernah terjadi di era Menkeu sebelumnya.
Ia juga memutuskan, tidak menaikkan cukai rokok di tahun 2026. Tentu saja hal ini memperoleh sambutan baik dari para taoke.
Dan kantor Menkeu pun dibanjiri karangan bunga dari pabrik rokok. Mereka bersyukur. Karena beberapa tahun terakir. Mengalami tekanan. Cukai rokok selalu dinaikkan. Mereka gelisah. Memikirkan masa depan bisnisnya.
UMKM pun kebagian. Insentif Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 0,5 persen pun diperpanjang hingga 2026.
Ia juga berjanji mengejar 200 penunggak pajak besar. Jumlahnya mencapai puluhan triliun. Dan yang sedang ramai di Medsos adalah Menkeu ogah bayar cicilan utang Kereta Cepat Whoost dengan dana APBN.
Waduh......apa yang akan terjadi?
Skema pembiayaan Proyek Kereta cepat Jakarta - Bandung ini Busines to Business (B to B). Konsorsium Indonesia -Tiongkok. Utang proyek ini mencapai Rp 121 triliun.
Busyet!!!.
Purbaya dengan gagah berani menolak penggunaan dana APBN.
Di media sosial pujian tiada henti. Nama Purbaya jadi trending. Langkah-langkah berani itu. Sebuah cara mengatasi ekonomi dan keuangan negara yang sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja.
Tapi jangan juga keburu menyanjung setinggi langit. Jabatan Menkeu baru disandang sebulan. Apa yang terjadi selanjutnya tak ada yang tahu.
Tentu gebrakan yang menyejukkan hati rakyat, diharapkan tak segera berhenti. Sangat ditunggu kelanjutannya.
Keberanian Purbaya bukan tak beresiko. Mereka yang merasa dirugikan. Pasti akan berusaha menghentikannya. Dengan cara apapun.
Bukan berlebihan kiranya bila ia perlu pengawalan ketat. Didampingi ajudan berkelas. Kebiasaannya makan-minum di kaki lima. Sangat membahayakan keselamatan dirinya.
Koboi kelahiran Bogor 1964 ini berpotensi menjadi pemimpin masa depan RI (*)
Penulis: Subakti Sidik Wartawan Senior PWI|Editor: Arifin BH