14 December 2025

Get In Touch

Drama Kata-Kata di Tengah Bencana

Zainal Arifin Emka mengisi pembekalan Uji Kompetensi Wartawan di Situbondo. UKW digelar Kominfo Situbondo bareng LP UKW Unitomo Surabaya, 5 - 7 Desember 2025 (Foto: Anggri Fauzan/Kominfo)
Zainal Arifin Emka mengisi pembekalan Uji Kompetensi Wartawan di Situbondo. UKW digelar Kominfo Situbondo bareng LP UKW Unitomo Surabaya, 5 - 7 Desember 2025 (Foto: Anggri Fauzan/Kominfo)

OPINI (Lentera) -Pernyataan Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Gerindra, Endipat Wijaya, mendadak jadi bahan perbincangan. Bukan soal legislasi atau isu digital, tapi tentang pilihan kata saat membahas bantuan pemerintah untuk korban bencana di Sumatra. 

Dalam sebuah forum, Endipat meminta Komdigi untuk lebih gencar mengamplifikasi informasi soal bantuan pemerintah. Ia menilai narasi positif pemerintah tidak boleh kalah oleh pihak yang ia sebut sebagai “sok paling di Aceh”. 

Kalimat terakhir itulah yang langsung mengundang sorotan.

Ada yang menganggapnya sekadar penegasan politik, tapi ada juga yang menilainya menyinggung pihak tertentu di tengah situasi sensitif. 

Lantai Kaca

Kenapa komentar ini cepat memicu polemik? 

Di era ketika satu potongan kalimat bisa menyebar ke mana-mana dalam hitungan menit, pejabat publik memang seperti berjalan di atas lantai kaca: semua orang melihat, mendengar, dan menilai. 

Beberapa hal membuat pernyataan Endipat begitu cepat dibicarakan. Situasi emosional. Masyarakat sedang tertimpa musibah.

Saat bencana terjadi, publik sangat peka terhadap nada bicara pejabat. Kata-kata yang terdengar seperti sindiran bisa dirasakan jauh lebih keras dari maksud aslinya. 

Ada masalah pilihan diksi yang memicu respons. Frasa “sok paling” punya daya sentuh emosional.

Dalam politik, bahasa seperti ini mudah ditangkap sebagai penegasan posisi atau bahkan sindiran, meski konteksnya mungkin lain. 

Sampai di titik ini kita cuma bisa menaruh harapan besar terhadap pejabat negara. Kita terbiasa berharap pejabat menunjukkan empati penuh dan menghindari komentar yang bisa memecah atensi atau menimbulkan kesalahpahaman. Apalagi ketika korban bencana masih berjuang keluar dari himpitan bencana.

Rakyat hanya bisa meraba-raba, apa sebenarnya yang ingin disampaikan Endipat, si wakil rakyat yang terhormat? 

Jika melihat substansi pernyataannya, Endipat sebenarnya menyoroti hal penting: komunikasi publik pemerintah dalam situasi darurat. Ia meminta Komdigi untuk lebih kuat menyebarkan informasi mengenai bantuan pemerintah agar masyarakat mendapat gambaran yang utuh tentang apa saja yang sudah dilakukan. 

Dalam konteks penanganan bencana, permintaan itu masuk akal. Kebutuhan informasi yang jelas adalah bagian penting dari manajemen krisis. Namun, masalahnya bukan pada isi pesan. Melainkan cara menyampaikannya. 

Akh, rakyat merasa tak patut mengajari wakilnya yang duduk di kursi empuk parlemen. Bukankah seharusnya dia lebih bijak dari rakyat yang tengah menderita sekalipun.  

Kata orang bijak: Di tengah bencana, berbahasa harus lebih hati-hati. Komunikasi publik dalam kondisi krisis adalah seni tersendiri.

Banyak pengamat kerap mengingatkan bahwa pejabat harus menjaga empati sebagai nada utama. Menghindari diksi yang bisa ditafsirkan sebagai kompetisi atau meremehkan.

Juga, fokuslah pada fakta dan solusi. Pastikan pesan tidak mengalihkan perhatian publik dari yang paling penting. Nasib korban. 

Konflik Baru

Dalam kasus ini, sorotan terhadap Endipat menjadi pengingat bahwa pilihan kata dapat menentukan apakah pesan diterima sebagai ajakan bekerja sama. Atau sebagai pemicu ketegangan. 

Janganlah lupa, di atas segalanya, korban bencana tetaplah nomor satu. Ini perlu diulang sebab sering terlupakan. Ketika drama politik muncul,  masyarakat di daerah bencana membutuhkan informasi yang cepat, bantuan yang tepat, dan suasana publik yang kondusif. 

Narasi pemerintah, upaya daerah, relawan, dan masyarakat sipil seharusnya saling melengkapi—bukan saling menegasikan. Maka wajar jika publik berharap semua pejabat menjaga tutur kata, agar komunikasi tidak berubah menjadi konflik baru. 

Ada baiknya dipahami ulang, di era publik yang kritis, kata-kata bisa lebih berbahaya dari mikrofon. 

Polemik kata-kata Endipat Wijaya menunjukkan bahwa menjadi pejabat publik berarti berbicara di hadapan ribuan “rekaman” yang selalu siap memotong, mengutip, dan menafsirkan. 

Permintaannya agar pemerintah lebih aktif memberikan informasi soal bantuan adalah isu penting.

Tapi pelajaran utamanya juga jelas: bahasa yang sensitif dan bijak adalah bagian dari pelayanan publik. Terutama ketika masyarakat sedang dilanda bencana.** *

Zainal Arifin Emka, Wartawan Tua, Pengajar Stikosa-AWS|Editor: Arifin BH

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lenterasemarang.com.
Lenterasemarang.com.