
OPINI (Lentera) -Eskalasi perang dagang Amerika Serikat (AS) - China kembali memanas. Presiden Donald Trump secara sepihak mengenakan tarif tambahan 100 persen pada semua impor Tiongkok. AS juga memperkenalkan kontrol ekspor ketat pada perangkat lunak kritis mulai 1 November.
Tentunya ini termasuk impor logam tanah jarang populer disebut Rare Earth Elemen (REE). Pasokan REE sangat penting karena banyak negara yang bergantung pada impor REE untuk kebutuhan industri mereka. China adalah salah satu produsen REE terbesar di dunia.
China hingga saat ini menguasai sekitar 60 persen - 70 persen produksi logam tanah jarang di dunia dengan proses pemurnian hampir 90 persen. Artinya hingga saat ini China masih menguasai pasar di sector ini.
Jadi meskipun ketegangan geopolitik AS - China meningkat, China tetap tegar. Pasokan REE China akan menjadi mitraliur sekaligus tameng Ekonomi yang sulit diruntuhkan AS. Inilah yang membuat China dengan santai menanggapi tekanan tarif impor Trump.
Ancaman Trump ini bukan yang pertama kalinya. Gelombang awal di era Presiden Trump pertama (2018), AS mulai menerapkan tarif tambahan (via Section 301) terhadap impor dari Tiongkok.
Tarif ini meliputi berbagai produk manufaktur, suku cadang, elektronik, dan lain-lain.
Eskalasi kedua pada 4 Februari 2025, AS mengumumkan tarif 10% tambahan untuk semua impor dari Tiongkok.
Pada 4 Maret 2025, AS menambah lagi 10 persen, sehingga totalnya menjadi 20 persen atas impor dari Tiongkok.
Pada 7–9 April 2025, eskalasi terjadi pesat: AS mengumumkan tarif tambahan 34 persen, kemudian menaikkannya ke 50 persen dan akhirnya tarif gabungan yang berlaku mencapai 145 persen terhadap barang-barang Tiongkok, termasuk tarif dasar 25 persen dari kebijakan sebelumnya ditambah tarif-tarif baru.
Namun, pada 12 Mei 2025, AS dan Tiongkok menyepakati pengurangan tarif bilateral: tarif dari April (yang tinggi) dikurangi menjadi 10 persen untuk jangka waktu 90 hari.
Jadi kenaikan tarif impor 100 persen yang diberlakukan pemerintah Trump bukan hal yang baru, melainkan sudah berkali - kali.
Para pelaku pasar keuangan dan para investor sudah paham dengan gaya Trump yang selalu menggertak untuk memberikan efek kejut melumpuhkan lawan. Ini adalah cara Trump melakukan bargaining.
Ketika negara-negara sudah mulai panik Trump melunak. Inilah yang disebut banyak investor dan pelaku pasar Trump sebagai Trump Always Chickens Out (TACO): seperti ayam berkokok.
Faktanya setelah pada hari Jum'at pekan kemarin Trump menekan tombol TACO-nya. Tidak berselang lama, Trump mengeluarkan pernyataan rekonsiliasi, dengan menyatakan bahwa “Saya pikir kita akan baik-baik saja dengan Tiongkok.” ujarnya merendah.
Hal ini seolah "diamini" oleh Wakil Presiden AS J.D. Vance juga mengatakan pada hari minggu bahwa “Trump bersedia menjadi negosiator yang wajar dengan Tiongkok.” .
Peluang Indonesia
Apa pun yang menjadi dinamika perseteruan AS - China, bagi Indonesia adalah peluang yang menggembirakan.
Donald Trump memberlakukan tarif impor 19 persen dari 35 persen sebelumnya. Walaupun kesepakan ini menimbulkan kontroversi karena AS minta imbalan kemudahan akses data warga negara Indonesia.
Indonesia baru-baru ini mendapati temuan logam tanah jarang REE di Bangka Belitung, berkat perampasan aset tambang illegal di kedua wilayah tersebut.
Sekitar 186.663 ton logam tanah jarang dalam bentuk monasit, dan 20.734 ton dalam bentuk xenotim. Bahkan diperkirakan total: Temuan ilegal Smelter: diperkirakan ± 40.000 ton monasit ditemukan di lokasi pertambangan ilegal.
Potensi nilai ekonomi dari temuan 40.000 ton monasit diperkirakan ≈ US$8 miliar (sekitar Rp128 triliun).
Potensi monasit di Bangka Belitung sebesar 25.700 ton di satu proyek/perusahaan. Sedangkan di Sumatera Utara potensi logam tanah jarang sekitar 19.917 ton. Belum lagi potensi logam tanah jarang misalanya di Sulawesi, Kalimantan , Maluku dan Papua. Suatu kekayaan perut bumi Indonesia yang perlu kita tambang secara legal.
Penulis: M.Rohanudin|Editor: Arifin BH