05 September 2025

Get In Touch

Dekan FH UB Ingatkan Potensi Darurat Militer, Aksi Anarkis Tidak Murni Aspirasi Masyarakat

Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH-UB), Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum, Rabu (3/9/2025). (Santi/Lentera)
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH-UB), Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum, Rabu (3/9/2025). (Santi/Lentera)

MALANG (Lentera) - Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH-UB), Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum mengingatkan potensi diberlakukannya darurat militer, jika aksi demonstrasi terus berujung anarkis.

Ditegaskannya, tindakan pembakaran dan penjarahan yang terjadi dalam kerusuhan belakangan ini bukan lagi cerminan aspirasi murni rakyat.

"Kalau saya sendiri, sebagai pengamat, ya, melihat situasi ini sudah tidak murni. Kenapa saya katakan begitu, karena kita belajar dari peristiwa ketika pemerintahan Pak Jokowi. Waktu itu ada protes RUU KPK, ada RUU KUHP. Mahasiswa protes, ya protes saja. Demo-demo saja. Bentrok-bentrok saja," ujar Aan, Rabu (3/9/2025).

Menurutnya, dalam praktik penyampaian pendapat di muka umum, eskalasi biasanya hanya sampai bentrokan. Kondisi itu pun terjadi ketika demonstrasi melewati tenggat waktu yang diatur sebelumnya, dan aparat terpaksa melakukan tindakan represif untuk membubarkan massa.

"Itu sah-sah saja sebagai tugas aparat. Jadi itu mekanisme yang lazim," katanya.

Namun, Aan menilai tindakan yang berlangsung hingga dini hari seperti pada Sabtu (30/8/2025) lalu, yang meliputi pembakaran fasilitas dan penjarahan, merupakan hal yang berbeda. Aan menegaskan kerusuhan tersebut tidak mencerminkan aspirasi murni masyarakat terkait tuntutan tunjangan DPR.

"Kalau orang ingin menyatakan tunjangan, tahu kan kalau itu pakai APBN. Tetapi kalau kemudian mereka membakar, menjarah bahkan sampai menjarah cagar budaya, saya gak yakin itu adalah massa yang murni," jelasnya.

Namun, Aan juga mengakui adanya kekecewaan publik terhadap jalannya proses legislasi, yang menurutnya kerap berjalan tanpa melibatkan rakyat sejak era pemerintahan sebelumnya hingga kini.

"Semuanya seolah kebut semalam jadi. Buat UU kebut semalam jadi. Seolah rakyat itu gak ada. Selesai di DPR dan Presiden. Ketika dibawa ke MK, MK nya juga gitu. Lembaga stempel. Saya yakin semuanya kecewa," paparnya.

Meski demikian, ia menegaskan kekecewaan tidak boleh menjadi alasan untuk melegitimasi tindakan di luar hukum. Menurutnya, hal itu justru membuka peluang masuknya militer dalam ranah pemerintahan sipil.

"Karena ketika sudah masuk ke sana, nanti yang terjadi bukanlah kedaulatan rakyat. Tetapi masuknya militer ke dalam ranah sipil. Darurat militer, jam malam, posisi sipil ditempati militer," tegas Aan.

Disebutkannya, untuk mencegah hal tersebut, masyarakat perlu menahan diri. Sementara Presiden harus bercermin pada aspirasi rakyat, terutama terkait tuntutan yang disampaikan, mulai dari kebijakan tunjangan DPR dan sikap empati kepada masyarakat.


Reporter: Santi Wahyu/Editor: Ais

Share:
Lenterasemarang.com.
Lenterasemarang.com.