21 October 2025

Get In Touch

Fenomena Langka, Mikroba 40.000 Tahun di Arktik Kembali Bangkit

Ilustrasi mikroba Foto: Pixabay
Ilustrasi mikroba Foto: Pixabay

SURABAYA (Lentera) - Mikroba purba yang terperangkap dalam permafrost Arktik selama puluhan ribu tahun berpotensi “bangkit” kembali akibat pemanasan global. Studi terbaru menunjukkan, jika musim panas di wilayah kutub semakin panjang, mikroba tersebut dapat melepaskan gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan metana yang mempercepat pemanasan bumi.

Penelitian di Journal of Geophysical Research: Geosciences (23 September 2025) mengungkap bahwa mikroba purba dari Zaman Es dapat aktif kembali hanya dalam beberapa bulan di bawah iklim masa depan. Kebangkitan ini berpotensi memicu feedback loop berbahaya, di mana mencairnya permafrost melepaskan lebih banyak gas rumah kaca yang mempercepat pemanasan global.

Permafrost merupakan lapisan tanah, batu, dan es yang membeku minimal dua tahun berturut-turut. Lapisan teratasnya, active layer, dapat mencair sementara saat gelombang panas terjadi. Namun, mikroba purba tersembunyi jauh di bawah lapisan yang hanya mencair jika suhu meningkat drastis dan bertahan lama. Untuk meneliti hal ini, tim ilmuwan yang dipimpin Tristan Caro dari Caltech melakukan penelitian di Alaska, wilayah yang 85% daratannya tertutup permafrost.

“Mungkin ada satu hari panas di musim panas Alaska, tapi yang jauh lebih penting adalah lamanya musim hangat itu berlangsung hingga ke musim semi dan gugur,” ujar Caro seperti dikutip Live Science.

Caro dan timnya mengambil sampel dari Permafrost Research Tunnel di dekat Fairbanks, terowongan sedalam 15 meter yang menembus lebih dari 100 meter tanah beku. Lokasi ini dianggap sebagai jendela waktu menuju Pleistosen Akhir, saat mamut dan bison masih hidup di Bumi.

“Begitu masuk ke dalam terowongan, hal pertama yang terasa adalah baunya yang sangat menyengat,” papar Caro, yang melakukan penelitian ini saat masih di University of Colorado Boulder. “Bagi ahli mikrobiologi, itu justru menarik karena bau khas biasanya menandakan adanya aktivitas mikroba.”

Sampel yang dikumpulkan kemudian direndam dalam air yang mengandung deuterium (versi berat dari atom hidrogen), lalu disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu bervariasi, antara -4°C, 4°C, dan 12°C. Tujuannya untuk meniru kondisi musim panas Alaska di masa depan, ketika suhu hangat bisa menembus lapisan tanah beku yang lebih dalam.

Setelah sebulan, belum banyak perubahan. Hanya segelintir mikroba yang “terbangun” dari tidur ribuan tahunnya. Namun setelah enam bulan, hasilnya mengejutkan.

Peneliti menemukan mikroba purba mulai membangun kembali selnya dan memproduksi glikolipid, asam lemak yang membantu bertahan di suhu ekstrem. Aktivitasnya meningkat pesat hingga membentuk biofilm, lapisan lendir yang tampak jelas secara kasat mata.

“Sampel ini sama sekali tidak mati,” tegas Caro.

Temuan ini menunjukkan potensi besar dampaknya terhadap iklim Bumi. Mikroba di permafrost menguraikan materi organik beku dan melepaskan karbon dioksida serta metana saat aktif kembali. Dengan suhu Arktik yang memanas lebih cepat dibanding wilayah lain, pencairan permafrost makin meluas. Jika mikroba purba bangkit, emisi karbon dari lapisan tanah beku bisa melonjak tajam.

Lapisan permafrost di belahan utara Bumi menyimpan dua kali lebih banyak karbon daripada atmosfer saat ini. Jika dilepaskan, karbon tersebut dapat memicu siklus berbahaya antara pencairan, pelepasan gas rumah kaca, dan pemanasan global yang kian parah.

Menurut Sebastian Kopf dari University of Colorado Boulder, pencairan permafrost masih menjadi salah satu misteri terbesar dalam memprediksi perubahan iklim karena dampaknya terhadap ekologi dan pemanasan global belum sepenuhnya diketahui. 

Peneliti menegaskan, studi ini baru mencakup satu lokasi, sementara mikroba di wilayah lain seperti Siberia atau Kanada mungkin bereaksi berbeda terhadap pemanasan. Jika mikroba purba benar-benar aktif kembali, pencairan permafrost bukan hanya isu lingkungan, tetapi juga kebangkitan kehidupan kuno yang berpotensi mengubah iklim Bumi. 

Co-Editor: Nei-Dya/berbagai sumber
 

Share:
Lenterasemarang.com.
Lenterasemarang.com.