
Oleh: M. Rohanudin*
Rumah dijarah, jadi tontonan gratis. Jam mewah raib, mobil pun hancur. Barang-barang lainnya melayang dibawa orang-orang. Suasana chaos berputar cepat dan spontan.
Inilah babak akhir gugurnya reputasi tiga bintang pencetus kegaduhan.
Ahmad Sahroni, Eko Patrio, dan Uya Kuya. Mereka bukan lagi ibarat dewa yang dipuja - puja, melainkan jatuh terpuruk mental -- mengais hukuman berat publik akibat slip of the tongue, keseleo ngomong.
Dari dendang-dendang di panggung parlemen, terhempas ke sudut - sudut gelap "paradoksal".
Akhirnya mereka di-nonaktifkan dari panggung terhormat. DPR RI. Se-glamour apapun kehidupan mereka, pastilah semua keluarga -- isteri dan anak - anak, ikut terseret dalam kesulitan yang menegangkan dan kekalutan luar biasa beratnya.
Mereka menjadi pusaran kemarahan publik. Demonstrasi menjadi panas, dan sulit dikendalikan.
Kekhawatiran terjadi di mana -mana.
Gerai - gerai barang branded di mall - mall dikosongkan. Pintu - pintu masuk mall digeser ke pintu lain yang lebih aman. Ini untuk mengantisipasi kerusuhan dan penjarahan yang meluas.
Sepekan kemaren kepadatan di jalan - jalan protokol di Jakarta masih belum pulih. Anak - anak sekolah belajar jarak jauh dari rumah.
Mirip suasana pasca huru-hara 1998. Kekhawatiran masyarakat masih menganga. Kita sedang diuji untuk bertahan agar suasana tidak terus-terusan beternak kerusuhan membabi buta.
Bagaimana Bersikap Arif
Singa mengaum tak perlu dilawan. Semua diam dalam cara yang arif, karena mereka berdemonstrasi sedang menyuarakan hak - haknya. Sudah tentu dengan niat dan melalui cara - cara damai.
Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa pemerintah menghormati aspirasi masyarakat lewat aksi demo, namun mengingatkan agar disampaikan dengan damai.
Pernyataan ini disampaikan pada keterangan pers di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu - 31 Agustus 2025.
Maka kebebasan berdemokrasi tidak boleh dilukai oleh dua pihak yang berseberangan. Ini bisa berakibat fatal dan berujung anarkis. Jika tidak, keriuhan besar akan hadir tanpa diundang.
Ini bukan permainan di meja biliar, kawan. Tapi rasa tidak puas yang menggelinding di ruang - ruang publik terbuka, lantas menyebabkan luka - luka : tidak saja luka fisik, juga luka batin yang mencengkram.
Ojol tak berdosa yang sedang mengais rejeki di jalan, jadi kurban akibat kepanikan yang seru. Kematian datang dengan cepat. Boleh jadi ini salah satu trigger.
Kegaduhan pun semakin menjadi - jadi. "Tak ada kalimat yang bijaksana bagi semua orang yang sedang panik bertikai". Mari kita renungkan.
Bertahan Untuk yang Terbaik
Tahun 1998 adalah tahun gelombang demonstrasi menandai sejarah gelap di negeri ini. Semua rugi, tak ada yang menang. Yang ada : kalah - kalah.
Demonstrasi waktu Itu dipicu oleh terjadinya penyelewengan besar yang kemudian dikenal sebagai skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Kerugian terbesarnya mencapai Rp 138,4 triliun. Dana Rp 147,4 triliun yang disalurkan kepada 48 bank, banyak yang diselewengkan, raib masuk kantong para pemilik dan pengelola.
Skandal BLBI menjadi biang kerusuhan. Krisis ekonomi parah dengan inflasi tinggi berakibat banyak pengangguran.
Gejolak itu dikenal dengan sebutan Reformasi 1998. Menuntut perubahan sistem pemerintahan dan transparansi, yang akhirnya berujung pada pengunduran diri Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
Bagaimana Pemerintah Bersikap?
Pemerintah harus stop demo berulang dengan menjamin kebijakan fiskal dan ekonomi yang lebih transparan.
Buka partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Sudah tentu dimulai dengan dialog yang bermartabat.
Public Trust menjadi kunci utama. Toleransi adalah sabuk pengaman ketika kita bersama di bawah padang bulan yang lembut.
Maka jangan berisik ketika khotbah sedang berlangsung, karena kita sedang mengaji tentang kesabaran yang teduh.
*Penulis adalah Praktisi Penyiaran