
SURABAYA (Lentera) – Insiden kebakaran sisi barat Gedung Negara Grahadi pada, Sabtu (30/8/2025) malam meninggalkan duka mendalam, terutama bagi pecinta sejarah dan pegiat pelestarian cagar budaya.
Bangunan ikonik yang menjadi saksi bisu perjalanan Kota Surabaya itu, mengalami kerusakan signifikan. Terkait kejadian itu, dosen Architecture Petra Christian University (PCU) yang juga pakar konservasi arsitektur, Dr. Timoticin Kwanda, B.Sc., MRP., PhD mengatakan kebakaran tersebut bukan hanya kehilangan fisik, tetapi juga merugikan nilai sejarah bangsa.
“Tentu saja kita sangat prihatin. Gedung Negara Grahadi, yang dibangun pada abad ke-18, menyimpan nilai historis luar biasa. Selain kaya sejarah, bangunan ini juga menampilkan keindahan arsitektur neo-klasik (Empire Style) yang berpadu dengan sentuhan arsitektur Jawa. Karena itu, penting bagi masyarakat untuk sadar bahwa melindungi Grahadi berarti menjaga aset berharga bangsa,” kata Timoticin, Rabu (3/9/2025).
Sebagai pengajar mata kuliah Konservasi Arsitektur di jenjang S1 dan S2, Timoticin menuturkan, Grahadi dilindungi oleh regulasi resmi. Perlindungan hukum itu tercantum dalam Permen Pariwisata dan Ekonomi Kreatif SK No. PM.23/PW.007/MKP/2007, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Dalam Pasal 101 UU Cagar Budaya disebutkan, setiap tindakan perusakan cagar budaya dapat dikenai hukuman pidana hingga 5 tahun penjara atau denda maksimal Rp1,5 miliar.
Pasca insiden, Timoticin menilai langkah prioritas adalah melakukan restorasi yang cermat. Tahap pertama, dimulai dengan dokumentasi kerusakan secara detail, kemudian perbaikan berdasarkan prinsip konservasi.
“Untuk bagian yang masih bisa diperbaiki, digunakan prinsip minimum intervensi agar material asli tetap dipertahankan. Jika ada bagian yang harus diganti, material baru harus sesuai zamannya, tetapi dibuat berbeda sehingga masyarakat bisa membedakan mana yang asli dan mana yang baru,” jelasnya.
Pendekatan ini, menurutnya, memastikan keaslian nilai sejarah bangunan tetap terjaga tanpa mengaburkan identitas aslinya. Ia mencontohkan pengalamannya dalam proyek Perencanaan Konservasi De Javasche Bank (2009–2012) yang didanai Bank Indonesia Jakarta, di mana metode serupa juga diterapkan.
Tragedi ini menjadi peringatan penting bahwa pelestarian cagar budaya membutuhkan sinergi semua pihak. Perlindungan hukum yang tegas, edukasi publik berkelanjutan, serta restorasi yang tepat merupakan langkah krusial untuk menjaga warisan sejarah.
“Pelestarian bukan hanya tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab bersama agar Grahadi dan bangunan cagar budaya lainnya tetap lestari untuk generasi mendatang,” tutupnya.
Reporter: Amanah/Editor: Ais